Karya Mandiri MESIU: Cerpen “Rumor? Rumor!”

Rumor? Rumor!

Karya Dian Sari Islamiyati

“Awas, Ciko! Kau bisa terpeleset jika memanjat lebih jauh lagi!” Peringatan Piko mendapat perhatian dari pemiliknya, seorang siswi SMP yang baru saja meletakkan tasnya di ruang tamu. 

Sudah sedari tadi gonggongan anjing berjenis Jack Russell Terrier ini terdengar hingga teras rumah. Anjing berumur dua tahun yang berbadan panjang ini melompat-lompat dengan kaki kecilnya seraya menegur kembarannya yang kekeh mengejar tupai di sela-sela ranting pohon mangga. 

“Mah, Ciko nakal lagi ini, Mah …. Dia manjat pohon lagi. Aku gak berani ambilnya,”  teriak siswi itu yang sudah membawa Piko dalam dekapannya, berharap bisa menenangkannya. 

“Haduuuh … Udah biarin aja, Din. Nanti pasti turun sendiri. Mending kamu makan gih, sana!” Sang ibu tidak begitu menggubris keluhan putrinya. Dia sibuk dengan isi tas kecilnya yang berwarna hitam berharap yang dicari segera ketemu.

Andini hanya memutar malas bola matanya saat mendengar respon sang Ibu. Dia kembali menaruh Piko dan melangkah kembali ke dalam rumah. 

“Ciko, ayolah! Kamu mau sampai berapa kali jatuh dari pohon? Memang tidak kapok?” Bujuk sang kakak, Piko.

“Biarkan saja, Piko. Kau tidak perlu berusaha terlalu keras untuk menjaganya,” suara serak milik si kucing tua muncul bersamaan dengan Angsa.

“Betul, kata si Binul. Biar alam semesta saja yang mengajarkan dia. Biar langsung kena mental!”  Ketus si Angsa, Ponni namanya.

“Aku maunya pun begitu, tetapi baru kemarin dia mengeluh kakinya sakit.”

“Itu kan karena dia mau tulangmu, Piko.” sambar Ponni.

“Belum lagi, lusa kemarin kepala dia tertimbun di gundukan tanah akibat terlalu bersemangat bermain bola dengan majikan kami,” keluh Piko yang masih mendongak khawatir sambil menatap lebatnya dedaunan pohon.

“Itu bukan salahmu, Piko jika dia kesetanan seperti itu,” sahut Blacky yang datang tiba-tiba, berkalungkan syal merah bersama anjing Golden Retriever bernama Deno. 

“Dan itu juga bukan masalah yang bisa kau kendali-”

SHHrakK…. BRAKK!!

Suara benturan tanah terdengar keras di balik dinding pembatas rumah Andini. Semua teman Piko kompak bersahutan memanggil Ciko menanyakan kabar atau apakah dia masih di atas sana sembari mendongak ke atas pohon, berbeda dengan Piko yang segera lari bergegas melewati garasi rumah, lalu halaman rumah depan, dan langkahnya terhenti di depan gerbang rumah reyot tua. Dalam sekejap teman-temannya sudah banyak yang menyusul. 

“Haduuuhh, tunggu dong kakiku susah mengejar kalian.” Protes Ponni.

“Tunggu dulu, Piko!” Cegat Blacky melihat gelagat Piko yang akan segera masuk ke dalam rumah.

“Kau tidak bisa sembarangan masuk rumah ini!” Ponni berbisik mendekatkan diri pada kawannya. “Katanya, dulu ada satu kawan kita yang pernah bermain di halaman rumah ini, tapi nggak pernah kembali lagi.” Ponni menelan ludahnya bergidik setiap mengingat rumor suram itu lagi.

“Ada yang bilang dijadiin pakan serigala sama pemiliknya.” Deno menambahkan

“Halaah, nggak mungkin! Serigala itu melolong. Aku, Piko dan Ciko tidak pernah mendengar suara hewan lain selain kalian dan kami sendiri.” Giliran Binul menyahut.

“Ada yang bilang juga, Tuan Dewanto adalah penyiksa hewan. Dia punya banyak barang hasil dari hewan-hewan yang jarang kutemui.” Ucap Blacky.

“Kalau jarang ditemui bagaimana kau bisa tau kalo itu hewan sama seperti kita?” Protes Ponni.

“Ya karena barang itu berbulu sama seperti kita.” 

“Yaah, semua barang di rumahku juga ada bulunya. Karpet teras rumah Piko juga ada bulunya.” 

“Bukan bulu seperti itu! Kau kan tidak pernah melihat pak Dewanto datang ke kebunmu. Dia pernah datang sekali ke rumahku, jadi aku dapat melihat semua barang yang dia pakai, termasuk salah satunya itu…. senapan.” 

“Haaah?!” Semuanya kompak menyerukan kekagetannya,ya kecuali Piko. 

“Lantas adikku bagaimana? Aku tidak mungkin meninggalkannya sendirian. Apalagi membiarkannya keluar sendiri dari rumah ini. Jika kalian terlalu takut, tidak apa-apa. Aku bisa pergi sendiri.” Piko bersikeras.

“Tunggu, Pik-”

“Apalagi? Hari sudah semakin sore, aku tidak punya banyak waktu meladeni hawa suram kalian!” 

Piko tak acuh dengan suara teman-temannya yang memanggilnya untuk kembali. Dia dengan lincah memasuki halaman luas milik Pak Dewanto yang dipenuhi tanaman dan rumput rimbun serta dua pohon tua tinggi menjulang nan besar di kedua sudut terasnya.

Sementara itu ….

“Aku punya ide.” Deno akhirnya bersuara.Suara radio tua terdengar berisik menyuarakan acara musik yang masih saja menyala di kosongnya rongga kehidupan rumah yang khas akan ornamen peninggalan penjajahan milik saudagar ternama, Jayawiyanto. Elok kemilaunya senja terpancar melalui kaca pantri memberikan siluet warna lain seolah membantu memberi kesan hidup pada rumah lama yang telah menjadi milik pak Dewanto. Belum lagi lantai rumah menjadi saksi bisu langkah-langkah Piko yang akhirnya berhasil masuk melalui sela-sela jendela yang ditutup oleh sebatang kayu besar. 

“Ciko!” 

“Ciko! Kau dimana?”

“Aku sudah datang ini!” 

Lolongan anjing berbulu hitam ini menggema mengalahkan suara radio. Lantas Piko memutuskan mencari ke seluruh sudut ruangan rumah ini meski ketakutannya mulai mengotori pikiran jernihnya. 

Perlahan rasa takutnya mulai mereda ketika Piko terpana oleh salah satu sudut ruangan. Ruang itu dekat sekali dengan meja makan. Seolah lupa akan tujuannya kemari, Piko mengerjap kagum pada foto besar berisikan seorang pemuda yang memegang senapan serta ditemani oleh anjing di sebelahnya yang tersenyum gagah, berlanjut pada bingkai kecil dengan gambar senyum tulus seorang pria memeluk orang utan, kemudian foto pria yang sama berdiri di depan pintu masuk kawasan konservasi. Tidak hanya itu, sudut ini dipenuhi oleh bola dan mainan lain yang akan sangat disukai olehnya, Ciko, dan teman-temannya. Lagi! Ada satu karung goni berisikan makanan kesukaannya. Dia berjingkrak sejenak lalu berusaha mengambil isian karung tersebut. Namun, bayangan hitam besar di depannya terlihat tiba tiba, seketika membuat Piko diam seribu langkah. 

“Lo, siapa?”

“Gimana, nih? Kalian mau nggak?” Desak Deno.

“Aku nggak ikut! Badanku saja nggak muat!” Lugas Ponni. 

“Tapi kami butuh lonceng milik majikanmu, Pon.” Ucap Deno.

“Ya, tapi aku nggak ikut masuk loh!” 

“Oke, tapi boleh ambilkan loncengmu dulu? Kita nggak punya banyak waktu.” Pinta Deno sabar.

“Tunggu sebentar, aku balik dulu.”

Semuanya mengangguk merespon balik perkataan Ponni. Silir angin mengoyak dedaunan kering dan menyisir halus tanaman padi. Warna langit kembali berubah keunguan dari yang tadinya jingga merona. Setelahnya, bisa dilihat lampu-lampu rumah menyala menerangi jalanan yang minim penerangan, sama dengan rumah di depan mereka. 

“Aku harus bergegas naik ke atap rumah ini sebelum penglihatanku semakin kabur.” Ucap Binul.

“Kalau kau mulai masuk, aku pun sama. Harus segera menyelinap lewat pohon tempat Ciko jatuh.” Sambar Blacky.

“Kalau begitu langsung saja, Biar loncengnya aku yang pegang saja,”  Titah Deno. “Kalaupun Ponni tak kunjung kembali, aku akan segera menyusul.” 

“Jangan kau akan membahayakan dirimu dan Ponni. Aku akan segera turun ketika suasana aman.” Ucap Blacky.

Setelahnya, semuanya sepakat untuk berpencar. Binul masuk lewat celah sisi kiri rumah Pak Dewanto melalui dinding rumahnya, sedangkan Blacky berbalik masuk melalui sisi kanan rumah tua reyot ini. Deno masih setia menunggu Ponni sembari mulai masuk rumah dan lihai membuka pintu kecil samping gerbang menggunakan gigi dan tangannya. 

“Kau lama sekali! Ayo masuk!” Tegur Deno.

“Ck, ah kamu!” Kesal Ponni yang tidak lagi punya alasan untuk menolak masuk rumah ini. 

Tak lama Blacky muncul mengambil lonceng tersebut dan kembali menaiki atap melewati jalan yang sama. Ketika sukses mereka masuk ke dalam rumah megah nan gelap itu terdengar pecahan kaca hingga percikannya sampai di depan mata mereka. Napas mereka tercekat. Seluruh badan bergidik hebat kala disusul erangan buas sesuatu, lalu muncul bebunyian lain disertakan kelap-kelip cahaya. Tubuh Deno bergetar hebat namun dia tetap berusaha menenangkan Ponni agar tidak berteriak ataupun menangis. Dia meyakinkan untuk tetap masuk meski angsa putih cantik ini sudah menggeleng hebat.

“Piko, Ciko kau dimana?” Seru Deno. 

Sementara di atap sana, baik Blacky ataupun Binul tengah bingung setelah melihat halaman rumah belakang yang kosong, dan usaha mereka dalam membunyikan lonceng serta memanggil pun sia-sia. Ciko ataupun Piko tidak ada yang menyahut. Ketika mereka masih bimbang akan turun atau tidak, lonceng yang baru ditaruh menggelinding jatuh ke dalam tempat pengawasan mereka sekarang. Mau tidak mau akhirnya mereka turun dengan perasaan was-was seperti ketiga temannya tadi. 

Mereka harap-harap cemas akan banyak hal. Mulai dari bagaimana mereka akan selamat? Monster apa yang ada di dalam sana? Bagaimana kondisi teman-teman kini? Jurus apa yang ampuh untuk menangkis lawan? Hingga ketika sebuah lampu menyala terang di ruang tengah disusul dengan lampu-lampu lain, rasa tenang hadir. Apa yang terlihat di depan mereka membuat semuanya berjingkrak senang. Deno, Ponni ternyata sedang bermain bersama Piko, Ciko, dan seekor anjing penjaga yang memiliki luka berat di kaki kirinya. Setelahnya, muncul seorang pria berjalan menggunakan tongkat untuk menopang kaki kanannya tersenyum bermain bersama hewan lainnya, serta beberapa petugas listrik yang tengah meminta pamit menggunakan bahasa isyarat. 

“Kalian pulang dengan apa?” Geraknya sembari tersenyum.

“Kami akan pesan taksi saja. Kantor tengah sibuk memeriksa konslet di desa-desa.” Balas salah satu petugas. 

“Baiklah, hati-hati dan terima kasih atas bantuannya.” Sang pria kembali menggubris peliharaannya.

Blacky dan Binul mendekat dan bermain bersama kala suasana mulai tenang. Lampu-lampu yang menyala memberikan kehangatan tersendiri untuk pikiran-pikiran negatif dan berhasil mengusir rumor yang tidak jelas datangnya dari mana. Anjing penjaga bertaring tajam ternyata memiliki sisi manisnya yang berbeda dengan erangannya tadi. Mainan bola-bola, tulang-tulang, dan bulu-bulu lain diperebutkan memberikan efek suara bising seperti mereka bermain sebelumnya. 

Hingga terdengar suara ketukan dan bel.

Bunyi ditemani nyala lampu merah ruang keluarga tanda seseorang datang. Pria paruh baya tersebut mendekat dan membuka pintu tersebut.

“Permisi pak, apakah bapak melihat 2 anjing berbadan kecil dengan bulu warna hitam?” Tanya Mama Andini.

Andini menunduk malu berada di belakang Mamanya. 

Tak lama, dibawakannya peliharaan kesayangannya. Lantas mereka pamit pulang.

“Tuh, yang katanya orangnya suram. Ternyata apa? Pak Dewanto baik kan?” Ucap Mamanya sambil menggendong Ciko.

“Ih, udah dong mah. Kan aku ngga tau.” Ucap Andini kesal.

Tinggalkan komentar