Ulasan Cerita Pendek “Tim Bubadipa”

Halo, sobat Mesiu! Minal ‘Aidin wal-Faizin, ya. Idiom ikonik ini berkumandang di seluruh penjuru negeri menandakan bahwa bulan Ramadan telah berakhir. Bulan Ramadan ialah bulan penuh berkah dan hikmah, sehingga tidak heran kita berlomba-lomba untuk memperolehnya. Kebermanfaatan Ramadan tentunya didapatkan dari rutinitas positif yang telah kita perbuat selama bulan suci itu. Walaupun rutinitas bulan Ramadan tidak lagi berada dalam suasana kebersamaan yang kental seperti biasanya, bukan berarti kegiatan positif yang sudah dijalankan secara rutin selama bulan tersebut tidak dapat diteruskan pada bulan-bulan lainnya. Contohnya mengaji Al-Qur’an sehabis salat wajib ataupun menyimak tayangan ceramah dari para pendakwah yang banyak berseliweran di YouTube.

Berkaitan rutinitas di atas, ada sebuah cerpen menarik nih yang dapat kita temukan di situs www.cerpenmu.comdengan judul Tim Bubadipa karangan Blueblacksky. Cerpen unggahan 3 Juli 2022 ini menceritakan tentang rutinitas tahunan selama bulan Ramadan oleh sekelompok mahasiswi yang sudah menjalin persahabatan sejak SMA hingga kuliah. Mereka bernama Sai, Mai, Beril, dan Izah yang tinggal bersama di sebuah kontrakan. Saira, nama lain dari Sai, untuk tahun ini dalam cerpen tersebut mencanangkan ide dengan nama Bubadipa, akronim dari Berbuat Baik dibalas Pahala. Sesuai dengan konsepnya, rutinitas yang Sai rencanakan mengharuskan mereka berempat untuk melakukan kegiatan harian dan mingguan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sesama manusia untuk mendapatkan pahala. Kegiatan harian ini berupa menghafalkan surah, menonton tayangan dakwah, kerja bakti membersihkan kontrakan, dan memberikan takjil kepada para pengendara maupun pejalan kaki. Untuk kegiatan mingguan, mereka membuat dan menjual aneka kerajinan saat diadakan bazar di kampus. Hasil penjualan tersebut kemudian diberikan kepada orang yang benar-benar membutuhkan.

Cerpen ini menggunakan bahasa lugas, terlihat dari cara penulis mengenalkan karakter tokoh yang disampaikan secara langsung oleh tokoh utama, yaitu Sai. Cerpen ini pula tidak banyak menggunakan istilah asing yang sulit dipahami oleh pembaca, sehingga mudah untuk dipahami. Selain itu, konflik yang diangkat dapat dikatakan ringan. Sebab, konflik dalam cerita hanya berupa kesalahpahaman dengan tokoh figuran, yaitu tokoh Bima. Penyelesaian konflik tidak terlalu dikembangkan oleh penulis. Hal ini dapat diamati dari prasangka buruk Sai tentang Bima yang menyalahgunakan uang pemberian mereka. Prasangka buruk itu kemudian disangkal oleh ketiga sahabatnya dengan menjelaskan bagaimana sebenarnya Bima memperlakukan uangnya tersebut. Cerpen Tim Bubadipa ini memberikan inspirasi kepada anak muda, terutama mahasiswa tentang betapa pentingnya implementasi agenda tahunan untuk dilaksanakan selama bulan Ramadan, yaitu setiap tahunnya mereka secara bergilir mencanangkan ide kegiatan yang akan dilakukan selama satu bulan penuh demi mendapatkan keberkahan Ramadan. Hal inilah yang menjadikan cerpen ini menarik karena penulis menyuguhkan cerita inspiratif di dalamnya untuk memaksimalkan keberkahan Ramadan. Di sisi lain, isi cerita yang termuat dalam cerpen tersebut memiliki amanat bahwa sesungguhnya kita dapat selalu melaksanakan ibadah yang sudah dijalani sewaktu bulan Ramadan untuk bulan-bulan berikutnya, seperti menolong sesama demi kerukunan bersama.

Ditulis oleh Dian Sari Islamiyati

Referensi:

Blueblacksky. 2022. Tim Bubadipa. Diakses dari http://cerpenmu.com/cerpen-islami-religi/tim-bubadipa.html

Sejarah Nopia, Kue Khas Purbalingga yang Cocok sebagai Hidangan Idulfitri

Bulan Syawal sudah di depan mata. Artinya, kita harus bersiap untuk menyambut Idulfitri. Sudah menjadi tradisi bahwa tiap-tiap tuan rumah akan menyajikan berbagai jamuan menarik untuk menghormati mereka yang datang bersilaturahmi. Nah, tentunya ada berbagai jamuan ikonik ketika Idulfitri, seperti ketupat, lontong sayur, dan aneka kue kering maupun basah. Sebagai camilan, sebagian besar masyarakat menyuguhkan beraneka ragam kue kering untuk disantap.

Salah satu kue kering yang digandrungi dan disuguhkan ketika Idulfitri ialah kue nopia. Nopia adalah kue kering khas Purbalingga dan sekitarnya yang terbuat dari adonan tepung terigu, margarin, susu, vanili, serta isian dari berbagai rasa. Umumnya nopia ini diisi dengan adonan gula merah. Seiring perkembangannya, isi nopia mempunyai banyak varian rasa, seperti rasa durian, pandan, nangka, dan cokelat. Nopia dapat menjadi alternatif jamuan Idulfitri lantaran nopia memiliki varian rasa yang beragam, lezat, serta banyak digemari dari berbagai kalangan. Selain itu, nopia juga dapat dikatakan cocok dan praktis disuguhkan di berbagai situasi dan kondisi. Oleh karenanya, kue nopia dapat menjadi pilihan yang sangat cocok untuk dihidangkan dan bersanding dengan kue kering lainnya ketika Idulfitri berlangsung.

Kue Nopia. (Sumber: Portal Purwokerto)

Ada berbagai pendapat kapan pertama kali terciptanya kue nopia di masyarakat. Salah satu yang cukup melegenda mempopulerkan dan memproduksi nopia ialah usaha milik keluarga Ting Ping Siang yang telah memproduksi sejak tahun 1940-an. Pada masa itu, nopia dijual dengan cara dipikul dan dijajakan di sekitar kompleks tempat tinggal Ting Ping Siang. Kertas payung dan koran bekas dimanfaatkan olehnya sebagai pembungkus nopia. Soal isian, nopia diproduksi dengan satu isian saja, yaitu isian bawang goreng.

Pada tahun 1950, usaha produksi dan pemasaran nopia dilanjutkan oleh putra Ting Ping Siang yang bernama Ting Lie Liang. Inovasi usaha, seperti variasi rasa dan perubahan ukuran nopia mulai terbentuk ketika kegiatan produksi nopia dipegang oleh Ting Lie Liang. Selain bawang goreng, nopia juga dibuat dengan isian berbagai rasa, seperti durian, cokelat, dan lainnya. Nopia awalnya memiliki ukuran asli sebesar telur bebek. Kemudian, ukuran tersebut diperkecil lagi menjadi ukuran mini. Hal tersebut membuat nopia juga dikenal masyarakat sebagai mino, mini nopia.

Nah, demikian penjelasan singkat mengenai nopia dan sejarahnya. Momen Idulfitri memang taklengkap rasanya bila takdisuguhkan berbagai jamuan ikoniknya, seperti salah satunya nopia ini. Semoga bermanfaat, ya.

Ditulis oleh: Luthfi Dwi Rahmayanti

Sambut Bulan Ramadan, Himasasi 2023 Gelar Bakti Himasasi dan Buka Bersama Keluarga Besar Sastra Indonesia

(1/2) Pembagian nasi kotak di sekitar Unsoed dan Purwokerto oleh Himasasi. (Sumber: Dokumentasi Himasasi)

Jumat (31/3), Himasasi 2023 telah sukses mengadakan kegiatan Bakti Himasasi dan buka bersama keluarga besar Sastra Indonesia. Bakti Himasasi merupakan salah satu program kerja dari divisi Advokasi dan Humas sebagai wujud kepedulian Himasasi, baik pengurus maupun anggota terhadap masyarakat yang membutuhkan.

Ketua Himasasi 2023, Aisyah Fitriani, mengatakan bahwa Bakti Himasasi diselenggarakan tanpa adanya batasan, sehingga mahasiswa Sastra Indonesia tidak perlu mengurungkan niat untuk berbuat baik di bulan suci Ramadan. Bentuk kegiatan Bakti Himasasi tahun ini adalah berbagi nasi kotak kepada masyarakat yang membutuhkan di sekitar Unsoed dan Purwokerto. Selain itu, Himasasi juga membagikan selebaran tentang bahasa dan sastra demi tetap menyalurkan ilmu kesusastraan, walaupun tidak bisa terjun secara langsung untuk berbagi ilmu.

Persiapan dari Bakti Himasasi sendiri telah berlangsung sejak akhir Februari dengan membuka donasi secara online hingga tanggal 30 Maret 2023. “Persiapan yang kami lakukan untuk Bakti Himasasi yaitu pertama, membuka donasi secara online sehingga semua orang bisa berdonasi melalui transfer/m-banking. Kedua, kami mempersiapkan seluruh kebutuhan yang diperlukan untuk berbagi nasi boks. Ketiga, kami mengajak beberapa mahasiswa Sastra Indonesia untuk berpartisipasi dalam Bakti Himasasi kali ini.” kata Adella, Koordinator divisi Advokasi dan Humas saat diwawancarai Tim Jurnalis Mesiu pada Sabtu (1/4).

Ketika ditanya mengenai kendala yang dialami selama mempersiapkan Bakti Himasasi, keduanya menyampaikan cara yang tetap melibatkan rasa kekeluargaan. “Kami tetap optimis dan selalu yakin, bahwa ketika kita berbuat baik pasti akan dipermudah. Kami terus menyebarkan pamflet open donasi di media sosial dan mengajak seluruh pengurus Himasasi untuk membantu menyebarkan pamflet tersebut. Alhamdulillah donasi bisa terkumpul dan kami bisa membagikan 65 nasi box untuk masyarakat yang membutuhkan.” imbuh Adella.

(2/2) Pembagian nasi kotak di sekitar Unsoed dan Purwokerto oleh Himasasi. (Sumber: Dokumentasi Himasasi)

“Demi lancarnya kegiatan ini, kunci yang dipegang oleh kami ialah diskusi dan komunikasi terkait saran dan bagaimana konsep Bakti Himasasi 2023. Hal tersebut menjadi dasar bagi kami sehingga dapat meminimalisir miss-komunikasi,” tambah Aisyah.

(1/3) Buka bersama Sastra Indonesia Unsoed. (Sumber: Dokumentasi Himasasi)

Beberapa pengurus Himasasi dan mahasiswa Sastra Indonesia dikerahkan untuk berkeliling membagikan nasi kotak di berbagai titik di sekitar Unsoed dan Purwokerto, seperti trotoar dan tepi jalan raya. Setelah itu, acara buka bersama pun digelar pada pukul 16.30 WIB. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai angkatan, yakni angkatan 2019, 2020, 2021, 2022, alumni, dan juga salah satu Dosen Sastra Indonesia, Bapak Aldi Aditya, S.Hum., M.Hum. Beberapa mahasiswa Sastra Indonesia turut memeriahkan acara dengan menampilkan bakat yang dimiliki, seperti bernyanyi, stand up comedy, hingga musikalisasi puisi dari Kompasia. Acara buka bersama pun selesai sekitar pukul 18.30 WIB. Dengan demikian, Aisyah Fitriani juga mengatakan bahwa dari Bakti Himasasi ini, diharapkan dapat membantu masyarakat di luar sana yang masih memerlukan uluran tangan dalam menjalankan ibadah puasa, serta dapat menjadi pemantik awal bagi mahasiswa Sastra Indonesia untuk menumbuhkan kepedulian terhadap masyarakat di lingkungan sekitar.

(2/3) Buka bersama Sastra Indonesia Unsoed. (Sumber: Dokumentasi Himasasi)
(3/3) Buka bersama Sastra Indonesia Unsoed. (Sumber: Dokumentasi Himasasi)

Karya Mandiri MESIU: Cerpen “Menjelang Magrib”

Menjelang Magrib

Karya Wulan Adiesty A. P.

Matahari beranjak turun dari langit yang mulai mendung saat jam menunjukkan pukul empat tepat. Aku keluar dari kelas mata kuliah terakhir hari ini. Segera kuhubungi Mas Eja untuk menjemputku sebelum dia berangkat bukber bersama teman-temannya. Sambil duduk di kursi lobi, aku mencoba meneleponnya dengan perasaan sedikit kesal. Akhirnya, setelah panggilan kelima, Mas Eja mengangkat teleponku dan menyahuti akan segera berangkat menjemput. Namun, aku sudah tahu kebiasaannya. Dia akan mandi terlebih dahulu, bersiap, lalu mengirim pesan ‘otw’ sambil berdandan. Bahkan, ritual dandannya melebihi diriku yang perempuan.

Tiga puluh menit berlalu. Aku masih menunggu sambil bermain hp menggunakan WiFi kampus. Tanpa aku sadari baterai ponselku berkurang hingga tersisa tiga persen. Astaga! Aku lupa membawa charger hari ini, padahal sudah tahu akan pulang sore. Kuputuskan untuk menutup akses WiFi dan data seluler, berjaga-jaga agar ponselku masih bisa digunakan bila ada situasi genting. Menit-menit berikutnya aku berulang kali melihat ke luar lobi, tapi belum ada tanda-tanda kedatangan Mas Eja. Hari semakin sore dan langit semakin gelap. Akhir-akhir ini cuaca sedang tidak bersahabat. Aku takut hujan badai lebih dulu datang sebelum Mas Eja.

Suasana lobi terasa sedikit horor bagiku. Hanya dua lampu yang menyala, bahkan salah satunya terus berkedip tidak teratur. Ditambah, hanya dua orang mahasiswi yang duduk di kursi panjang bersamaku. Mungkin mereka menunggu teman atau jemputan sepertiku. Kututup mataku dan kucoba tidur sejenak walau rasanya sungguh tidak nyaman. Walau lelah, tubuhku menolak untuk tidur sejenak. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan-jalan di taman kecil dalam kampus. Kampus lengang. Sudah tidak banyak orang yang berlalu-lalang. Mungkin karena bulan ramadan orang-orang memilih untuk pulang lebih cepat.

Saat sibuk melihat sekitar gazebo, tiba-tiba petir menyambar puncak gedung yang tadi aku singgahi. Spontan aku jatuh terduduk sambil menutup telinga rapat-rapat. Kilat yang menyilaukan disusul dengan suara yang begitu menggelegar hingga telingaku berdengung dan rasanya jantungku hampir copot. Samar-samar aku mendengar suara reruntuhan genting yang jatuh ke rumput taman. Apakah sambaran petirnya sedahsyat itu hingga genting gedung itu runtuh? Meskipun aku tidak tahu persis bagian mana yang tersambar, aku tetap mencoba menyelamatkan diri dengan menjauhi gedung. Beberapa orang melakukan hal yang sama sepertiku. Kulihat seseorang lari dengan panik hingga terpeleset jatuh di lantai hingga tangannya terkilir.

Kilatan selanjutnya kembali menyambar. Rasanya masih di titik yang sama walaupun tidak sekeras sambaran sebelumnya. Angin kencang mulai berembus disertai hujan. Aku terus mencoba berpikir positif, meyakinkan diri bahwa Mas Eja akan datang sebentar lagi.

Tak lama kemudian, angin kencang itu menerbangkan kertas-kertas pada majalah dinding yang terbuka. Teriakan orang-orang sekitar membuatku semakin panik. Beberapa kursi yang cukup berat di koridor sedikit bergeser terbawa angin. Tempat sampah plastik terbang beserta semua isinya seolah diserap pusaran hitam raksasa yang muncul diatas gedung fakultas. Papan pengumuman, spanduk, sapu, hingga pot bunga terbang berantakan ke segala arah. Yang bisa kulakukan hanyalah berlindung di area UKS bersama beberapa orang. Kami berpegangan tangan sambil memanjatkan doa bersama agar badai segera berakhir.

“Hp tuh jangan dimatiin!” Celetuk Mas Eja membangunkanku. Ia sudah berada di sampingku sekarang.

“Kok kita masih di lobi? Mas ngga jadi bukber?” tanyaku bingung. Baru kusadari ternyata aku memegang tangannya erat, seolah aku masih berada di tengah hujan badai.

“Ya kan nunggu kamu bangun, baru bisa pulang.”

Astaga! Aku tertidur sampai Magrib di lobi kampus. Terima kasih Tuhan, berkat mimpi tadi aku tidak akan pernah lagi tidur di sore hari, terlebih saat menjelang Magrib.

REKOMENDASI BUKU SASTRA UNTUK MAHASISWA SASTRA INDONESIA

Halo sobat Mesiu! Tahun 2023 sudah menginjak seperempat tahun aja nih. Bahkan, suasana bulan Ramadan mulai kembali datang dan menjadi pintu hangat bagi seluruh umat muslim di dunia yang menunaikannya, termasuk para pelajar dan mahasiswa yang masih disibukkan dengan kegiatan akademik. Kesibukan akademik yang disertai dengan ibadah puasa tentunya memiliki tantangan tersendiri. Apalagi, mahasiswa Sastra Indonesia Unsoed sebentar lagi akan melaksanakan kegiatan Ujian Tengah Semester atau UTS. Tantangan yang dimaksud itu misalnya cenderung lebih sensitif terhadap banyaknya tugas, adanya kegiatan organisasi ataupun UKM, dan jadwal perkuliahan yang masih padat. Hal tersebut rupanya dapat mengakibatkan burnout atau kejenuhan dan hilangnya rasa semangat dalam belajar, loh. Nah, salah satu solusi untuk menyeimbangkan mood dari serangkaian produktivitas tadi ialah dengan mencoba hal yang baru dan konsisten, contohnya membaca buku.
Seorang mahasiswa Sastra Indonesia tidak terlepas dari stereotip ‘kutu buku’ oleh masyarakat awam serta terkenal dari pihak asing atau umum sebagai seorang pengamat karya sastra berjenis prosa. Prosa yang melingkupi puisi, novel, cerpen, dan cerbung ini banyak memberikan insight, pengalaman baru, dan menumbuhkan rasa empati serta simpati yang lebih kepada pembaca. Karya sastra berbentuk prosa mempunyai beragam gaya bahasa dengan genre dan ciri kepenulisan yang beragam pula. Karya sastra tentunya penting bagi mahasiswa Sastra Indonesia sebagai acuan referensi dalam memperdalam teori dan hal-hal terkait penjurusan sastra itu sendiri. Selain itu, membaca karya sastra dapat memperkaya khazanah pada kosakata bahasa Indonesia yang digunakan oleh penulis. Dalam karya sastra pun ada banyak pelajaran yang dapat dipetik, seperti halnya tentang ilmu tata bahasa atau linguistik.


Lalu bagaimana dengan seorang pembaca pemula dari mahasiswa Sastra Indonesia yang belum begitu mengenal, membaca, dan mengikuti perkembangan dari karya sastra berjenis prosa? Nah, ada beberapa rekomendasi buku sastra nih yang dapat menjadi referensi mahasiswa Sasindo dalam mengikuti perkembangan karya sastra kedepannya, yakni sebagai berikut.

  1. Tentang Kamu, Karya Tere Liye

Novel yang dirilis pada akhir tahun 2016 oleh Tere Liye atau Pak Darwis ini menceritakan tentang ketangguhan seorang wanita dalam perjalanan hidupnya yang penuh rintangan dan sarat merasai kehilangan sesuatu. Hingga di akhir hidupnya dia hanya memiliki dirinya sendiri dan pada saat tokoh utama meninggal, ia meninggalkan harta kekayaan yang melebihi Ratu Elizabeth, tetapi harta kekayaannya ini harus segera diwariskan atau akan menjadi polemik bagi firma hukum milik tokoh bernama Zaman Zulkarnaen. Penjelasan ringkas tersebut dikemas oleh Tere Liye menjadi cerita yang memiliki alur campuran dengan genre drama dan misteri. Pengemasan ceritanya tidak lupa dengan gaya bahasa khas yang puitis, tetapi sederhana dan tetap memberikan plot twist yang menarik bagi pembaca. Alhasil karya tersebut akan cocok untuk menjadi tapak awal bagi mahasiswa Sastra Indonesia dalam memasuki dan mendalami karya sastra, terutama bagi mereka yang menyukai genre misteri.

  1. Laut Bercerita, Karya Leila S. Chudori

Novel yang diterbitkan pada tahun 2017 ini sempat booming atau viral pada saat pandemi tahun 2020 dibuktikan dengan banyaknya reviu yang melejit di berbagai platform media sosial. Novel yang mempunyai tema pergerakan ini memiliki alur campuran yang ditengarai dengan tanggal dan tempat berbeda di tiap babnya. Hal tersebut memberikan gambaran progres cerita yang menarik serta menimbulkan rasa penasaran di tiap akhir bab bagi pembaca. Gaya bahasa yang ditawarkan lebih lugas, tetapi puitis serta memberikan khazanah pengetahuan bagi pembaca terkait kosakata yang baru tentang pergerakan. Novel yang terinspirasi oleh keadaan politik pada era Soeharto ini memberikan kesan dan pesan yang epik tentang sulitnya dalam berekpresi terutama bagi mereka yang tertindas sehingga novel pun dikemas dengan banyaknya kata-kata getir oleh penulis. Novel tersebut akan cocok dibaca oleh pembaca yang berstatus mahasiswa karena dapat memberikan pengalaman yang nyata tentang keutuhan organisasi dan tata pelaksanaannya. Novel ini juga cocok untuk dibaca oleh pembaca pemula terutama mahasiswa Sastra Indonesia karena memberikan pengalaman-pengalaman menarik, seperti halnya gaya kepenulisan Leila yang dapat dikaji secara objektif di bidang ilmu sastra.

  1. Ranah Tiga Warna, Karya Ahmad Fuadi

Novel kedua dari trilogi Negeri 5 Menara menceritakan tentang perjalanan Alif seusai kelulusannya di pondok pesantren Madani. Tema yang diangkat hampir sama seperti novel Tentang Kamu, yakni mengenai perjuangan hidup. Alif memperjuangkan hidupnya dalam bidang edukasi yang berhasil membuat dirinya dapat mempunyai kesempatan untuk melakukan pertukaran pelajar serta magang di salah satu kantor redaksi di luar negeri. Perjuangan tersebut diberikan point of view pertama, yaitu dari sudut pandang Alif sehingga memudahkan pembaca dalam mengerti isi pikiran tokoh utama serta pandangan-pandangan baru dari penulis melalui Alif yang dapat kita teladani. Semangat juang dari Alif dapat dilihat dari gaya bahasanya yang persuasif sehingga dapat menularkan semangat kepada para pembaca terutama pelajar dan mahasiswa. Selain itu, gaya bahasa yang disandingkan ialah puitis dan memberikan banyak pengetahuan akan kosakata baru bagi pembaca dengan tetap dapat mudah dimengerti. Terutama akan sangat bermanfaat bagi pembaca pemula dalam memahami isi dari karya sastra yang disuguhkan oleh penulis.

Karya-karya sastra yang telah disebutkan merupakan referensi yang dapat dijadikan acuan bagi para pembaca pemula yang ingin menumbuhkan hobi membaca dan khazanah terkait karya sastra bagi mahasiswa Sastra Indonesia. Diharapkan pula dengan membaca beberapa karya sastra tersebut dapat meningkatkan mood dan daya semangat juang tinggi, seperti cerita para tokoh yang telah digambarkan dengan baik oleh para penulis.