Ini Aku, Nayu
Karya Dian Sari Islamiyati
Halo, ini aku, Nayu. Badanku kecil, begitu juga tangan dan kaki yang kuhentakkan saat seorang perempuan mengabaikanku. Seketika perempuan itu langsung menoleh dan mengulurkan tangan untuk mengangkat badanku. Ia menggendongku dengan sehelai kain panjang yang entah bagaimana aku percaya bahwa aku tidak akan terjatuh. Hari ini berbeda dengan kemarin, juga kemarinnya lagi. Entah kapan terakhir kali aku melihatnya tersenyum selebar ini.
Aku Bahagia. Aku senang. Aku lega. Melihatnya mengajakku banyak menari di sela-sela aktivitas memasaknya. Perempuan itu dengan senang hati menyuapiku makanan enak yang mengenyangkan. Setelah selesai makan, ia mengajakku ke sebuah ruangan sejuk yang penuh dengan air dan busa. Perempuan itu melepaskan semua pakaianku dan menaruhnya di sebuah ember hitam. Perlahan dan hati-hati, dia membasahi sekujur tubuhku dengan air di tangannya.
Seperti biasanya, perempuan itu mengajakku melihat banyak bunga dan serangga yang hanya kulihat sepintas karena silaunya sinar matahari. Pada akhirnya, bibirnya yang terus bergerak mencuri perhatianku. Aku penasaran, mengapa perempuan ini sering menempelkan tanganku pada bibirnya sambil menunjuk salah satu serangga yang terbang ke arah kami?
Serangga itu terbang dengan gesit walau sayapnya sangat tipis dan transparan. Begitu juga dengan perempuan bermata merah yang telah lama memiliki bekas ungu kehitaman di pipi kanannya, yang sering meringis jika aku sentuh dan aku raba. Ia begitu gesit menghampiriku saat melihatku terbangun dan seorang pria bermata tajam mendekat dengan sebilah tongkat bambu digenggamannya. Perempuan yang sedang melihat bunga mawar putih itu juga yang cekatan menutup pintu rapat-rapat seakan menghalangiku dari badai dan musibah. Tanpa peduli dengan tubuhnya yang terlihat lebih lemah daripada kondisiku sendiri. Perempuan ini sering menyebut dirinya sebagai ibu.
Pada suatu malam yang gelap, Ibu membangunkanku. Ia menggendongku sambil buru-buru menuruni tangga. Ia memegang kunci dengan tangan gemetar. Keringat dingin mengalir di dahinya. Berulang kali ibu gagal membuka pintu. Kunci di tangannya terus terjatuh dan terpeleset. Kemudian, tubuhnya melemas mengetahui seseorang berjalan mendekat ke arah kami.
Aku melihat bayangan hitam di belakangku perlahan menuruni tangga dengan tenang. Tanpa ada tanda-tanda bahaya sama sekali darinya. Si mata tajam sudah berada satu lantai dengan kami. Pergerakkannya tenang mendekat. Kedua tangannya mengulur seolah dia ingin memelukku. Aku membalas serupa. Bagaimanapun aku masih mengantuk dan ingin kembali tidur.
Berbeda dengan ibu, dia masih berusaha membuka pintu dengan kunci yang berkarat. Tanganku masih terulur, namun baru selintas jariku dapat diraih oleh pria berkumis dan berkacamata itu, pintu akhirnya dapat terbuka. Kilatan petir terlihat jelas bersamaan dengan ibu yang mengambil langkah lebih cepat menjauh dari pria itu. Pria dengan mimik wajah yang mulai tampak jelas membuat kami berdua ketakutan.
Ibuku berlari sekencang mungkin, menggendongku lebih erat di jalanan yang semakin gelap. Langkah kecil ibu yang tanpa alas kaki mulai terseok di atas jalan berbatu. Ibuku menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya gemetar hebat, namun ia masih mengelus puncak kepalaku dengan lembut seolah menenangkanku atas kejadian tadi. Lewat sinar lampu jalanan yang masih menyala walau remang-remang dapat kulihat dengan jelas mata ibu. Satu matanya berwarna sangat ungu dan hampir tidak dapat dibukanya lebar-lebar. Sisi kiri jidatnya berdarah seperti habis terbentur sesuatu.
Aku mulai menangis. Ada apa sebenarnya? Mengapa wajahnya seringkali tidak aku kenal? Langkah kaki ibu melambat. Perempuan itu menepi ke sebuah pohon besar, berusaha melindungiku dari guyuran hujan.
“Anak ibu kenapa menangis?” katanya yang dapat kutangkap setelah satu tanganku, seperti biasa, didekatkan pada bibirnya setiap dia berbicara.
Aku hanya bisa terdiam. Penglihatanku semakin mengabur ketika ibu kembali mendekapku dengan tubuh gemetar. Perempuan itu kembali ketakutan. Begitu juga dengan aku. Apa yang harus kita lakukan? Apa yang sedang kita hindari? Mungkinkah pria itu?
“Jangan menangis, ya. Anak ibu ‘kan hebat. Sebentar lagi kita sampai, oke?” ujarnya sambil terisak.
Ironis memang. Mengapa dunia begitu hening untukku? Bahkan ketika melihat ibu menangis, aku masih tidak mengerti dan tidak dapat merangkulnya. Ada apa dengan dunia di luar keheningan? Adakah sesuatu yang membahagiakan atau malah menyesakkan?
Ibu kembali tertatih melangkah sesaat setelah hujan mulai reda. Kali ini ibu berjalan lambat, hingga kami tiba di sebuah ruang sempit yang hanya menyisakan gagang telepon beserta tombol-tombol angka. Setelah menekan beberapa tombol, ia mulai berbicara sendiri. Aku tidak tahu pada siapa ia berbicara.
Sejak saat itu, aku tidak pernah melihat pria menyeramkan itu lagi. Ibu memang jadi sering menitipkanku pada tetangga sebelah bernama Bu Umik yang sangat mahir menggerakkan jemari, mulut, dan mimik wajah, sehingga aku dapat dengan mudah mengerti apa yang dia ucapkan. Setelahnya, ibu akan kembali setiap jam lima sore. Sejak bulan ini, jam kerja ibu mulai berkurang dan waktu bersamaku lebih luang. Terlebih lagi setelah mendapat surat yang diterimanya.
Ini aku, Nayu. Aku mulai mengerti mengapa keheningan selalu ada di sekitarku. Hari ini ibu mengajakku ke rumah sakit yang salah satu kliniknya penuh warna, gambar, dan boneka. Kami bertemu dengan dokter yang mengenalkan bentuk telinga dan memeriksa lubang telingaku dengan hati-hati. Setelah dokter memasang sebuah benda ke telingaku, aku takjub. Ternyata ada dunia di luar keheningan. Kudengar ibu menyapaku dengan sapaan yang sangat manis lebih dari apapun.
Akan tetapi, ternyata keheningan tidak terlalu menyiksaku. Ada lebih banyak suara yang sebaiknya tenggelam dan tidak aku kenal sama sekali. Ada lebih banyak kata yang tidak pantas untuk didengar. Keheningan, kesunyian, dan ketiadaan suara, bahkan kesulitanku untuk berbicara mengajarkanku banyak hal. Aku sangat bersyukur atas kesabaran yang Tuhan berikan padaku melalui banyak hal. Aku juga lebih banyak mendengarkan diriku sendiri dan orang terkasihku, ibu. Aku senang menjadi aku. Terima kasih, Tuhan.